Unlearn The Olds, Create The Healthy One

Saya ingin mengawali artikel ini dengan sebuah pertanyaan. “Pernahkah kita merasa kewalahan dan kehabisan energi ketika berinteraksi dengan orang tertentu?”. Atau “Pernahkah kita merasa terkuras ketika berelasi dengan orang tertentu di hidup kita?” Mungkin kita pun bertanya-tanya, “Kok bisa ya ada orang seperti itu?” Dalam ilmu psikologi, ada banyak faktor yang membentuk pribadi seseorang, atau setidaknya yang mendorong seseorang untuk berperilaku tertentu. Salah satu faktor pembentuknya adalah lingkungan, dalam hal ini keluarga. Sistem dimana ia lahir, tumbuh dan dibesarkan sangat mempengaruhi dorongan dan perilaku seseorang. Ketika sistem tersebut berfungsi dengan baik dan menjadi ruang yang aman bagi seorang individu, maka sangat mungkin ia akan melihat manusia lain atau dunia luar sebagai tempat yang relatif aman serta memilih perilaku yang aman juga bagi diri sendiri dan orang lain. Kalaupun menghadapi ketidaknyamanan di dunia luar, setidaknya ia memiliki tempat untuk ‘pulang’ dan merasa aman. 

Lain halnya dengan seseorang yang hidup dalam lingkungan keluarga yang tidak berfungsi dengan baik untuk membuatnya merasa aman dan nyaman. Lingkungan seperti itu sering disebut keluarga disfungsi. Seseorang yang hidup dalam keluarga disfungsi, dimana ia seringkali justru merasa tidak aman berada di rumah, akan memiliki perspektif yang berbeda tentang manusia dan relasi antar manusia itu sendiri. Keluarga disfungsi ialah tempat dimana kekacauan, penyiksaan, penelantaran merupakan hal yang dianggap wajar. Di dalam keluarga disfungsi, perilaku-perilaku tidak sehat justru dibiarkan dan dipelihara.  

Seseorang yang hidup dalam keluarga disfungsi akan menganggap normal hal-hal seperti memaafkan dan melupakan (tanpa adanya perubahan perilaku), melanjutkan hidup seolah tidak terjadi apa-apa, menyimpan rahasia yang sebenarnya perlu untuk diceritakan, dan berpura-pura baik-baik saja. Tidak jarang juga yang memilih untuk menutupi masalah demi orang lain, menyangkal masalah yang sedang terjadi, sulit mengekspresikan emosi, merasa biasa saja ketika ada di tengah orang-orang yang berbahaya dan menggunakan agresi untuk mendapatkan yang diinginkan. Mungkin cukup banyak dan cukup sering ya kita melihat pola perilaku tersebut di sekitar kita. 

Pola perilaku yang didapat dari keluarga akan mempengaruhi bagaimana seorang individu berelasi ketika ia dewasa, baik itu relasi romantis, pertemanan, relasi antara atasan-bawahan, maupun ketika ia menjadi orang tua. Ada potensi untuk mengulangi pola yang sama tidak sehatnya dengan yang didapat di keluarga. Perlu sebuah kesadaran untuk bisa mengubah pola tersebut, dan biasanya bermula dari rasa lelah berada di situasi permasalahan yang sama terus-menerus. Ada juga yang merasa bahwa ini saatnya untuk mengubah pola hidup karena menyadari bahwa pola hidup dan pola perilaku yang tidak sehat ini berdampak buruk pada kualitas hidupnya selama ini. Ada pula yang ‘terpaksa’ berubah karena terjadi suatu peristiwa yang sangat signifikan. Apapun alasan awalnya, namun hal tersebut perlu untuk diapresiasi dan didukung karena butuh keberanian dan kekuatan untuk keluar dari pola yang sudah lama terbentuk. 

Untuk dapat berubah dan meninggalkan pola lama yang tidak sehat, hal yang perlu dilakukan adalah unlearn the pattern. Seperti sebuah aplikasi yang pernah ter-install di gawai kita dan memberi dampak buruk bagi gawai kita, maka aplikasi tersebut perlu untuk kita uninstall bukan? Ya, kira-kira seperti itu konsep unlearn the pattern. Tetapi tentu saja tidak semudah itu prosesnya. Terdapat proses, komitmen dan juga dukungan untuk dapat membuatnya berhasil. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah mengenali polanya terlebih dahulu. Kenali pola-pola perilaku tidak sehat yang selama ini dibiarkan dan mengganggu relasi di masa sekarang. Terhadap hal tersebut perlu dilakukan sejumlah langkah pemulihan melalui terapi psikologis. Melalui terapi tersebut seseorang dapat dibantu untuk mengenali hal-hal yang menjadi kebutuhan dan keinginan, nilai-nilai atau prinsip yang dipegang, serta kehidupan seperti apa yang diinginkan dan bagaimana kontribusi yang dapat ia lakukan untuk memiliki kehidupan tersebut. 

Setelah memulihkan diri, langkah yang tidak kalah penting dalam menjalani pola hidup baru yang lebih sehat ialah membangun batasan (boundaries) yang sehat. Seseorang perlu menentukan hal-hal yang bersedia untuk ditoleransi atau dikompromikan dan yang tidak. Dalam interaksi dengan orang lain pun, orang tersebut perlu melatih diri untuk menentukan sikap yang tepat agar tidak kembali terombang-ambing oleh pola lama yang pada umumnya tetap ingin dipertahankan oleh orang di sekitarnya (misalnya keluarga disfungsi tadi). Tentunya tidak mudah untuk melakukan ini seorang diri. Oleh karenanya, seseorang membutuhkan dukungan dari orang yang dipercaya dan mudah untuk diakses, sehingga mampu membimbingnya dalam membangun batasan dengan tepat. 

Apabila pihak yang ingin diberi batasan adalah keluarga, maka support system yang dimiliki sebaiknya merupakan seorang di luar keluarga tersebut. Demikian halnya dengan bentuk-bentuk relasi yang lain, dimana support system yang dimiliki diharapkan mampu bersikap netral, benar-benar memahami situasi yang dihadapi dan sudah mengetahui karakteristik orang yang ingin dibantu serta cukup bijaksana dalam memandang permasalahan. Saat kita melihat ada teman atau orang lain yang dirasa membutuhkan dukungan tersebut, kita pun bisa menjadi support system bagi orang itu, dengan tidak mengecilkan apa yang mereka alami dan menjadi tempat yang aman bagi mereka untuk bercerita. Dalam mendengarkan cerita mereka pun sebaiknya kita tidak menasehati, tidak berasumsi bahwa kita mengetahui apa yang mereka alami, tidak menjanjikan bahwa semua akan berakhir baik, terlebih memaksa mereka untuk memperbaiki relasi dengan keluarganya. Sebaliknya, kita dapat menanyakan kepada mereka apa yang dibutuhkan. Dengan begitu, kita pun dapat berkontribusi pada pemulihan orang-orang di sekitar kita dan pada pembentukan relasi-relasi yang sehat.

 

May my own pain open my heart wide enough to embrace others in pain.

May my suffering become an opportunity to connect with others who are suffering.

Just as I wish for a swift end to my suffering,

I also pray for others to recover quickly from their pain.

—Haemin Sunim

Oleh: Christina Anjar Astya, M.Psi., Psikolog

Pustaka Acuan

Townsend, J. (2011). Beyond Boundaries: Learning to Trust Again in Relationships. Michigan: Zondervan

Tawwab, Nedra Glover. (2021). Set Boundaries, Find Peace: A Guide to Reclaiming Yourself. New York: A TarcherPerigee Book.

Tawwab, Nedra Glover. (2023). Drama Free: A Guide to Managing Unhealthy Family Relationships. New York: A TarcherPerigee Book.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top