Oleh: Trystancius Sean Matthieu, S. Psi
Tim AFI 5 Research-Development-Learning-Virtue
Kepahlawanan di Zaman Sekarang
Pada saat ini, kita berada di era dimana semua orang hidup untuk diri mereka sendiri sehingga terpikirkan apakah masih diperlukan seorang pahlawan? Apa arti dari seorang pahlawan? Siapa sajakah yang bisa dibilang pahlawan? Mengapa orang bisa menjadi seorang pahlawan? Inilah pertanyaan yang kita tanyakan saat melihat dunia yang penuh dengan keegoisan dan bersifat individualisme. Dengan intensi untuk membuat kerangka pengembangan sifat kepahlawanan dalam orang muda Indonesia, kita memulai perjalanan riset kita.
Dari melihat bagaimana kepahlawanan di Indonesia, kita belajar bahwa di era globalisasi, definisi kepahlawanan pun mulai juga beradaptasi dengan zaman. Yang dulunya definisi kepahlawanan lebih berfokus pada nasionalisme dan pancasila, sekarang lebih berfokus pada masalah yang lebih global dan cara mereka dalam berkontribusi untuk membuat dunia yang lebih baik. Di zaman sekarang, banyak orang muda yang menafsirkan kepahlawanan sebagai “enviromental hero” yang peduli akan kondisi lingkungan kita. Tidak sedikit pula yang menafsirkan kepahlawananan sebagai “peace advocates” yang menyuarakan seruan mereka untuk menghentikan peperangan. Contoh yang bisa kita lihat adalah dari perang Ukraina-Rusia dan Israel-Palestina. Banyak anak muda yang melakukan advokasi mereka dengan memberitakan dan membawa pesan untuk kedamaian dan menghentikan perang. Walaupun aksi tersebut terlihat kecil, kepedulian terhadap yang tertindas merupakan salah satu sikap dari kepahlawanan, jadi setidaknya ini merupakan tanda bahwa kepahlawanan belum mati di era ini dan masih dibutuhkan.
Kepahlawanan Menurut Franco & Zimbardo
Namun muncul pertanyaan berikutnya: Bagaimana sifat kepahlawanan ini bisa terbentuk? Mengapa kepahlawanan bisa muncul? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini mungkin bisa terjawab dengan mengenali sisi gelap manusia yang mempunyai kapasitas untuk melakukan kekejian dan kejahatan. Semua orang mempunyai potensi untuk menjadi seorang penjahat, seperti yang dijelaskan oleh Franco & Zimbardo (2007). Mereka menjelaskan bahwa dalam tekanan dan kondisi tertentu, orang biasa pun dapat menjadi seorang penjahat. (Franco & Zimbardo, 2007). Salah satu contoh nyata dari hal ini dapat dilihat dari aksi tentara Nazi pada Perang Dunia II, dimana mereka dapat melakukan genosida masal tanpa mempertanyakan apakah hal tersebut benar atau salah, hanya karena mereka mengikuti perintah dari atasan mereka. Bukan hanya mereka melakukannya, tetapi tidak ada pula yang menghentikan hal tersebut. Namun, hal ini tidak saja berlaku pada kejahatan, kepahlawanan pun juga memiliki hukum yang sama. Franco & Zimbardo (2007) menjelaskan bahwa semua orang pun mempunyai potensi untuk menjadi seorang pahlawan, bahwa pahlawan bukanlah orang yang “terpilih” atau memiliki “bakat” tertentu. Contoh nyata yang diberikan oleh Franco & Zimbardo (2007) adalah kejadian Serangan 11 September atau 9/11 di Amerika Serikat, pada saat pesawat komersil menabrak Twin Tower yang memakan banyak korban jiwa. Pada hari itu juga banyak pahlawan yang muncul, dari para polisi dan pemadam kebakaran yang membantu menyelamatkan korban yang bisa diselamatkan, hingga orang-orang biasa yang tergerak dan berinisiatif untuk membantu sesama mereka, meski hal tersebut sangatlah beresiko bagi keselamatan mereka.
Jadi, apa itu kepahlawanan? Menurut Franco & Zimbardo (2007), kepahlawanan berasosiasi dengan komitmen seseorang untuk suatu tujuan yang mulia dan bersedia untuk membayar konsekuensi dari berjuang untuk tujuan tersebut. Dengan definisi ini, ada beberapa kriteria dalam menjadi seorang pahlawan. Pertama, mereka memiliki suatu misi, baik itu misi yang besar seperti menyelamatkan bumi dari bahaya lingkungan, atau sesuatu yang kecil seperti membantu seseorang yang jatuh. Kedua, mereka berkorban atau mengambil resiko yang menyebabkan kehilangan sesuatu dalam menjalankan misi tersebut, baik itu kehilangan nyawa, waktu, materi, dan lain-lain. Ketiga, aksi kepahlawanan ini bisa dalam bentuk aktif, seperti melakukan suatu aksi, atau terkadang dalam bentuk pasif, seperti tidak melakukan kejahatan dan tetap teguh akan kebenaran walaupun mereka diancam. Dan terakhir, kepahlawanan bisa menjadi sesuatu yang impulsif, kejadian sekali, atau sesuatu yang konstan. Contohnya, kita bisa menolong seseorang yang tenggelam dalam kolam renang, ini merupakan aksi impulsif dan bisa terjadi sekali saja. Kepahlawanan yang konstan bisa seperti bergabung dalam palang merah dan membantu orang-orang secara terus-menerus. Dari deskripsi di atas, selain orang-orang seperti dokter dan polisi yang memang melakukan aksi-aksi heroik, aksi-aksi sederhana seperti mencoba mendengarkan orang yang sedang bersedih dan berempati dengan mereka, menolong orang yang memerlukan P3K, atau aksi yang terlihat pasif seperti berdiri di antara perundung dan korban untuk melindungi sang korban, juga merupakan aksi yang heroik.
Namun, mengapa kita lebih jarang melihat aksi kepahlawanan sekarang? Mengapa sedikit panutan yang bisa menjadi seorang sosok pahlawan di dunia nyata? Mungkin karena dunia sekarang sudah lebih modern, jadi semakin sedikit orang yang bisa dianggap sebagai seorang pahlawan. Sosok aktor, atlet, ilmuwan, politisi, mungkin merupakan sebuah panutan, namun mereka kurang mendemonstrasikan keberanian (Franco & Zimbardo, 2007). Dengan berkurangnya sosok pahlawan dan arti dari pahlawan, Franco & Zimbardo (2007) menjelaskan adanya dua penyebab: Kita merendahkan kepentingan adanya seorang pahlawan, dan kita tidak bisa menyesuaikan standar kepahlawanan dari generasi dulu dan menegakan standar tersebut. Apalagi diri kita sendiri dan juga sistem pendidikan kurang mendukung perkembangan karakter-karakter kepahlawanan seperti keberanian, keadilan, dan melakukan apa yang benar. Lama kelamaan, tidak akan ada pahlawan dalam generasi muda kita, dimana di era sekarang sebenarnya pahlawan masih diperlukan sama seperti pada era sebelumnya.
Lalu, bagaimana kita membangun sikap kepahlawanan ini? Franco & Zimbardo (2007) mengusulkan suatu konsep yakni “heroic imagination”. Ada beberapa langkah dan aspek yang perlu diperhatikan dalam membentuk “heroic imagination”. Kita dapat memulai dengan membentuk kesadaran dan kepekaan akan situasi yang tidak sesuai dan mengevaluasi setiap kondisi di mana kita berada sambil mempertanyakan apakah kejadian ini sesuai atau tidak. Lalu, penting untuk membentuk keberanian dalam menghadapi konflik dan ketegasan untuk menjaga prinsip yang kita pegang. Ini menyiratkan pentingnya keterampilan dalam menghadapi situasi interpersonal dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, kesadaran akan masa kini dan kemungkinan yang akan terjadi di masa depan sehingga kita dapat menganalisis dan memperkirakan bagaimana aksi kita sekarang dapat berdampak di masa depan. Keempat, kemampuan untuk menahan, merasionalkan dan membenarkan aksi kejahatan sebagai sesuatu yang dapat diterima jika untuk tujuan yang benar. Terakhir, kesiapan untuk menanggung konsekuensi dari bersikap heroik dan benar, baik itu secara fisik, sosial, maupun psikologis. Namun, dari semua ini, Franco & Zimbardo (2007) sangat mendukung pembentukan kepahlawanan dengan penggunaan media cerita, layaknya cerita-cerita kepahlawanan, seperti cerita Lord of the Rings oleh J. R. R. Tolkien yang dikemas lebih modern, atau mitos-mitos kepahlawanan dan cerita rakyat yang menunjukan kepahlawanan. Penggunaan cerita untuk menyampaikan pesan adalah metode yang sangat kuat, terutama untuk anak-anak dan orang muda di era digital sekarang, karena cerita dapat melibatkan pikiran dan imaginasi mereka, membuat cerita tersebut masuk ke dalam alam bawah sadar mereka dan menginspirasi mereka untuk menjadi seperti karakter dalam cerita tersebut.
Kepahlawanan: In Reality
Kita sudah melihat apa yang dikatakan oleh sang ahli mengenai kepahlawanan, namun bagaimana dalam praktisnya? Apa yang dikatakan oleh orang-orang di dunia sana yang menjalani hidup mereka di luar teori-teori psikologi dan sosial tersebut? Dari survey yang telah diisi oleh 44 orang dengan kisaran umur 21-63, 25% orang berpendapat bahwa kepahlawanan merupakan seseorang yang membantu sesama tanpa pamrih, berkontribusi terhadap sesuatu yang positif, dan berjuang atas suatu tujuan demi kebaikan walau terkadang mereka harus mengorbankan sesuatu. Definisi ini selaras dengan definisi yang diberikan Franco dan Zimbardo (2007) yang menunjukan bahwa baik dulu maupun sekarang, arti seorang pahlawan masih sama. Jika kita bertanya “Siapakah pahlawan yang menjadi panutan Anda?”, 17 orang memiliki tokoh agama sebagai panutan seorang pahlawan, diikuti oleh 10 orang dengan karakter fiksi, 9 orang tokoh pahlawan nasional, 5 orang tokoh politik, dan 7 orang dengan orang tua sebagai panutan pahlawan. Karakter Indonesia sebagai negara beragama tergambar dari panutan rakyatnya seperti hasil di atas. Ini menunjukan bahwa di masa sekarang pun orang Indonesia masih berpegang teguh dengan standar keagamaan mereka dengan kuat. Di sisi lain, ada juga orang-orang yang mengambil contoh karakter fiksi sebagai panutan kepahlawanannya. Mengapa bisa seperti itu? Kemungkinan pertama adalah banyaknya karakter fiksi yang dibuat oleh manusia bisa menjadi sebuah panutan dalam kehidupan nyata, di mana mereka menggunakan media dan seni sebagai sarana yang kuat untuk membentuk karakter kepahlawanan. Kemungkinan kedua bisa jadi sedikitnya tokoh dalam kehidupan nyata yang mencerminkan jiwa kepahlawanan, sampai orang-orang mulai beralih mengidolakan tokoh fiksi yang memiliki karakter lebih positif daripada kehidupan nyata. Tentunya ini hanyalah beberapa kemungkinan yang perlu diuji coba dan dianalisa kembali dengan penelitian lanjutan.
Kalau kita membicarakan aksi kepahlawanan, tentunya “menolong sesama” menjadi aksi utama dari seorang pahlawan, dan dengan 17 orang mengatakan hal tersebut, tentunya tidak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya. Namun, ada juga aksi kepahlawanan lainnya yang dapat kita contoh, di mana 9 orang mengatakan profesi yang membantu, dan 7 orang mengatakan seseorang yang bekerja demi keluarganya. Lalu, bagaimana cara membentuk karakter kepahlawanan? Menurut survey, 13 orang mengatakan bahwa karakter kepahlawanan dibentuk dari diri sendiri, dengan berlaku positif dan menjadi contoh kepahlawanan itu sendiri daripada menunggu tokoh lain mengajarkannya kepada kita. Setelah itu, kita dapat mengajarkannya kepada orang-orang di sekeliling kita dan menjadi contoh bagi orang lain. Dengan begitu, benih-benih kepahlawanan tersebar dari dalam diri ke orang di sekitar kita. Dari langkah-langkah ini, bisa disimpulkan bahwa banyak orang, terutama orang muda, sudah mengetahui apa itu kepahlawanan dan bagaimana berlaku seperti pahlawan. Maka dari itu, sebenarnya kita pun dapat mengajarkan bagaimana cara menjadi pahlawan, yakni dengan menjadi contoh yang positif bagi orang-orang di sekitar kita. Dengan begitu, bisa disimpulkan bahwa cara yang diterima oleh orang-orang dalam menanamkan sifat kepahlawanan adalah dengan metode “role model” dimana kita menjadi contoh bagi orang lain untuk menjadi seorang pahlawan. Ini dapat menjadi topik penelitian lanjutan untuk melihat metode-metode yang paling efektif dan efisien dalam mendidik nilai kepahlawanan.
Conclusion: My Thoughts
Kepahlawanan merupakan sebuah karakter archetype yang konstan, baik dari zaman dulu sampai sekarang. Namun, sangat sedih melihat situasi sekarang di mana semua orang hidup hanya untuk diri sendiri, di mana perang perlahan membara kembali, di mana kehidupan terlihat hambar dan masa depan terlihat suram, dan kita masing-masing hidup hanya sekedar bertahan hidup saja. Apakah ini dunia yang Anda inginkan? Dunia di mana setiap orang hidup untuk diri mereka sendiri? Saya berpikir mungkin generasi sekarang memang seperti itu, atau mungkin saja ini karena kita sudah lelah akan dunia dan hidup ini, akan keteledoran dan kerakusan generasi sebelumnya yang membuat dunia ini semakin rusak, akan pemimpin kita yang hanya memikirkan diri mereka sendiri. Apakah benar jika kita hidup di dunia yang seperti itu? Apakah Anda hanya akan diam saja dan menikmati kesengsaraan ini, atau Anda akan bangkit dan bertarung untuk hidup dan masa depan yang lebih baik? Siapa lagi yang dapat membuat masa depan tersebut kalau bukan kita? Untuk menjadi seorang yang pantas disebut “pahlawan” oleh generasi mendatang, kita tidak dapat hanya mengandalkan generasi sebelumnya atau berharap seorang pahlawan datang dari langit. Walaupun di zaman sekarang terlihat kepahlawanan sudah mati, namun sebenarnya mereka hanya tertidur saja, di dalam diri kita. Kita hanya perlu membangunkannya, dan mungkin yang kita perlukan hanyalah sedikit dorongan, sedikit penyemangat untuk menjadi individu yang lebih positif, dan dapat menginspirasi orang-orang di sekitar kita, menjadi sang pahlawan yang dipanuti orang. Ini semua perlu dimulai dari diri kita. Kitalah pahlawan generasi kita sekarang, maka bangkitlah, tunjukkan bahwa kita pun juga dapat menjadi seorang pahlawan, kita pun memiliki keberanian untuk bertindak dan berdiri teguh akan kebenaran dan berani untuk berjuang untuk hal tersebut!
Referensi
Franco, Z. & Zimbardo, P. (2007). The banality of heroism. Greater Good, 3. 30-35