Menjalin relasi interpersonal yang akrab dan hangat dengan orang lain, seperti dalam pertemanan atau hubungan romantis, merupakan suatu hal yang diharapkan oleh banyak orang. Adanya ekspektasi bahwa relasi ini akan menyumbang kebahagiaan dalam hidup seseorang juga merupakan hal yang umum. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ekspektasi yang dimiliki tidak selalu sejalan dengan realita yang terjadi. Tentunya ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi hal tersebut, salah satunya terkait dengan ungkapan “it takes two to tango” yang cukup dikenal oleh masyarakat umum. Berdasarkan ungkapan tersebut, dapat dipahami bahwa dalam sebuah hubungan yang akrab, pihak-pihak yang terlibat di dalamnya perlu saling memberikan usaha yang terbaik, saling berkontribusi, dan saling berbagi (misalnya kasih sayang, dukungan, dan bantuan). Jika hanya salah satu pihak yang melakukan hal tersebut, sebuah hubungan berisiko tidak dapat memenuhi harapan atau kebutuhan seseorang.
Akan tetapi, pertanyaan yang seringkali luput dari perhatian adalah, apa yang membuat seseorang mampu memberikan yang terbaik dalam sebuah hubungan? Dalam menjawab pertanyaan ini, cukup dapat dipahami bahwa semakin besar cinta atau kepedulian seseorang kepada orang lain, semakin besar juga usaha yang diberikan orang tersebut dalam mewujudkan rasa cinta atau kepeduliannya terhadap orang lain. Namun, disamping kepedulian terhadap orang lain, ternyata kepedulian terhadap diri sendiri juga turut memiliki peran yang penting dalam relasi interpersonal.
Neff dan Germer (2018) mengungkapkan bahwa individu perlu merasa dekat dan terkoneksi dengan dirinya sendiri terlebih dahulu untuk dapat menjalin relasi yang berkualitas dengan orang lain. Satu hal signifikan yang membuat individu terkoneksi dengan dirinya sendiri adalah compassion (welas asih). Compassion dapat diartikan sebagai kepekaan terhadap penderitaan seseorang yang disertai dengan keinginan untuk meringankan penderitaan tersebut (Neff & Germer, 2018). Menurut Neff (2011), compassion melibatkan kesadaran atas penderitaan yang terjadi, bersikap baik hati terhadap orang yang menderita, dan menyadari bahwa penderitaan tersebut adalah bagian dari kehidupan dan sebagai sesuatu yang dialami oleh setiap manusia. Self-compassion adalah compassion yang diarahkan kepada diri sendiri (Neff & Germer, 2018).
Penelitian menunjukkan bahwa individu yang menerapkan self-compassion lebih mampu menciptakan hubungan pertemanan yang dekat, otentik, dan saling mendukung ketimbang individu yang tidak menerapkannya (Neff, 2011). Penelitian juga menunjukkan bahwa individu yang memiliki self-compassion cenderung lebih mendukung, menerima, dan peduli terhadap pasangan dalam hubungan romantis (Neff, 2011). Hal ini dapat terjadi karena dengan mendukung diri sendiri ketika dibutuhkan, individu mendapatkan sumber daya emosional yang diperlukan untuk mendampingi orang-orang terkasihnya (Neff & Germer, 2018). Selain itu, ketika individu memenuhi kebutuhannya sendiri akan cinta dan penerimaan, ia dapat menempatkan tuntutan yang lebih minim terhadap pasangannya, memungkinkan pasangannya untuk lebih menjadi dirinya sendiri (Neff & Germer, 2018). Di samping itu, ketika individu bersikap penuh pengertian terhadap diri sendiri dan berhenti menghabiskan energi dengan menghakimi atau merendahkan diri sendiri, ia dapat lebih banyak memfokuskan energinya untuk memenuhi kebutuhan emosional sesama (Neff, 2011).
Self-compassion bukanlah suatu hal yang egois, tetapi justru memberikan ketahanan yang individu butuhkan untuk membangun dan mempertahankan hubungan interpersonal yang bahagia dan sehat dalam hidupnya (Neff & Germer, 2018). Semoga kita bisa terus berlatih dan berproses dalam menerapkannya.
Referensi:
Neff, K., & Germer, C. K. (2018). The mindful self-compassion workbook: A proven way to accept yourself, build inner strength, and thrive. The Guilford Press.
Neff, K. (2011). Self-compassion: The proven power of being kind to yourself. William Morrow.