-Sebuah refleksi singkat dari manusia yang sedang belajar-
Kita tengah menyambut Hari Pahlawan di tahun 2023, tujuh puluh delapan tahun pasca pertempuran 10 November di Surabaya yang bertujuan untuk mengusir penjajah dari Indonesia. Kata pahlawan sendiri identik dengan nilai-nilai nasionalisme yang terus menerus digaungkan hingga masa kini. Buku-buku Sejarah dicetak untuk dipelajari oleh generasi muda, dengan banyaknya kisah pahlawan yang inspiratif dalam membela negara. Menjadi pahlawan seolah sebuah “beban” berat yang harus dipikul dan tidak banyak menarik bagi generasi muda saat ini. Pertanyaan besar saat ini adalah apakah benar kita semua harus memperingati hari Pahlawan dengan konsep seperti dalam buku Sejarah? Atau dalam masa kini, ada pergeseran makna, nilai, serta kelunturan dan kebangkitan dari peringatan tersebut? Dalam artikel ini, kita akan bersama-sama belajar dan berefleksi, tentang pahlawan dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa kita lakukan sebagai manusia biasa.
Salah satu konsep dasar yang menjadi permulaan refleksi ini adalah bahwa manusia tidak bisa terlepas dari kelompoknya. Hal itu juga yang menjadi terbentuknya sebutan pahlawan, bahwa diantara suatu kelompok masyarakat, terdapat satu dua orang dengan berbagai kelebihannya. Orang-orang itu kemudian disebut sebagai pahlawan dalam peran yang berbeda-beda, baik karena pengorbanan, kepemimpinan, dan lain-lain. Sejalan dengan definisi pahlawan menurut KBBI sebagai “menonjol karena keberanian dan pengorbananya dalam membela kebenaran”, terdapat kata kunci “menonjol” yang menimbulkan pertanyaan baru dalam refleksi penulis. Apakah itu berarti dalam kehidupan kita hanya ada orang-orang tertentu yang dapat menjadi pahlawan agar memenuhi makna dari “menonjol” itu sendiri?
Jurnal hasil review Allison et al. (2019) banyak membahas tentang dinamika seorang pahlawan yang dipandang sebagai sebuah proses metamorfosis. Setiap orang memiliki kesempatan menjadi pahlawan, karena setiap orang mengalami metamorfosis atau dalam kata lain bertransformasi dalam hidup. Perubahan fisik, setiap tahapan atau perkembangan hidup yang dilalui oleh manusia, dapat digolongkan sebagai sebuah transformasi yang diharapkan ke arah lebih baik, layaknya ulat yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Pandangan menarik ini membuka peluang bagi semua orang untuk menciptakan makna sendiri terhadap konsep Pahlawan. Setiap orang yang telah memiliki label “berhasil” melampaui perubahan dalam hidupnya layak diberi gelar pahlawan, sebagai upaya bertahan dan bertumbuh. Lantas apakah makna ini cukup untuk membuat kita benar-benar memahami peringatan pahlawan dengan baik? Apakah menjadi berubah berarti kita telah membawa dampak bagi orang lain?
Masih berasal dari jurnal yang sama, para peneliti heroism terdahulu telah merumuskan bahwa makna menjadi pahlawan tidak sesederhana itu. Meski semua manusia bertranformasi, terdapat hal-hal spesial yang akan membentuk seseorang menjadi pahlawan. Pertama adalah kemauan untuk berlatih dan berkembang. Tentu saja meski kebanyakan orang dapat menjadi dewasa, proses yang dilalui berbeda. Membekali diri dengan kemampuan khusus, dalam peran masing-masing dalam keluarga, tempat kerja, maupun masyarakat akan membantu seseorang selangkah lebih dekat dengan makna pahlawan. Sikap empati yang besar, kemauan untuk berhenti sejenak dan melihat penderitaan, akan lebih membantu kita, siapapun peran kita, dalam memahami kehidupan.
Kedua adalah latihan secara spiritual yang perlu dijalani seorang pahlawan. Spiritual yang dimaksud disini bukan sekadar hubungan secara vertikal dengan Sang Pencipta masing-masing, melainkan juga secara ketenangan batin dan jiwa masing-masing. Latihan secara spiritual dapat secara sederhana diciptakan dengan cara memaafkan orang lain, serta bersyukur. Lewat latihan secara spiritual ini, seorang pahlawan akan memperkuat sisi kemanusiaannya, di samping segala kemampuan atau kelebihan lainnya. Harapan dari latihan spiritual ini adalah seseorang dapat menempuh jalan kepahlawanan yang mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan.
Ketiga dan yang terakhir, untuk menjadi pahlawan kita perlu memulai perjalanan dan menulis kisah kita sendiri, sama seperti pahlawan dalam buku Sejarah maupun pahlawan dalam mitologi yang memiliki kisahnya masing-masing. Langkah ini sekaligus menjawab pertanyaan besar di awal artikel bahwa memang menjadi pahlawan berarti memiliki beban masing-masing. Namun beban tersebut tidak harus seperti yang telah dikisahkan zaman dahulu, seperti misalnya melalui perperangan atau melawan monster. Beban tersebut bergantung pada peran kita serta sejauh apa kita memilih untuk menjadi pahlawan, menjadi berdampak untuk orang-orang di sekitar kita.
Sebagai penutup, untuk menjadi pahlawan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin, meski tidak dipungkiri akan tetap ada rintangan dan upaya dalam melaluinya. Peringatan akan pahlawan yang mungkin bagi sebagian orang luntur, tidak berarti hilang, karena bagaimanapun kita sebagai manusia akan terus bermetamorfosis, tanpa kita sadari. Pemikiran tersebut membuat kita semua sebagai manusia memiliki kesempatan yang sama, untuk menjadi menonjol dalam peran masing-masing. Pilihan terakhir ada di tangan kita, untuk menggunakan sumber daya metamorfosis untuk menjadi pahlawan atau sudah cukup puas dengan perubahan yang ada. Menjadi pahlawan di masa kini adalah sebuah realita dan siapapun berhak memiliki harapan untuk menggapainya, bukan sekadar omong kosong belaka. Selamat memilih di Hari Pahlawan!
Pustaka Acuan
Allison ST, Goethals GR, Marrinan AR, Parker OM, Spyrou SP and Stein M (2019) The Metamorphosis of the Hero: Principles, Processes, and Purpose. Front. Psychol. 10:606. doi: 10.3389/fpsyg.2019.00606
Myers, D. G. dan Twenge, J. M. (2016). Social Psychology. New York: McGraw Hill Education
-Alicia-